"Welcome to a new kind of tension,all across the alien nation,were everything isnt mean to be okay"

Cari Blog Ini

Sabtu, 20 Februari 2010

Plagiarisme Musik Dan Hukum Moral

AKHIRNYA Profesor Anak Agung Banyu Perwita PhD dikeluarkan dari Universitas Katolik Parahiyangan Bandung karena terbukti melakukan tidak plagiarisme. Guru besar hubungan internasional ini terbukti mencontek karya ilmiah orang lain. Makalah contekan yang dimuat di harian The Jakarta Post itulah yang membuka tabir kecurangan Banyu Perwita.

Pada penyelidikan lebih jauh, Unpar menemukan 3 tulisan Banyu Perwita lain yang juga hasil contekan. Agaknya menjiplak telah menjadi kebiasaan dosen muda idola mahasiswa ini. Mungkin masih banyak karya Banyu Perwita hasil jiplakan yang belum ketahuan. Asumsi ini masuk akal mengingat banyak sekali karya ilmiah Banyu Perwita yang dimuat di berbagi media massa dan jurnal ilmiah.

Di kalangan intelektual yang berbudaya tinggi, plagiarisme dianggap sebagai tindakan tercela dan mamalukan dan pelakunya terancam hukuman berat, bukan hukum formal tapi moral. Dalam kasus ini, Banyu Perwita dipecat dari Unpar. Tapi hukuman yang paling berat –saya rasa- adalah pencabutan gelar profesornya. Seorang guru besar yang dicabut gelarnya ibarat pejabat yang dipecat tidak dengan hormat. Akibat perbuatannya Banyu Perwita tidak hanya kehilangan pekerjaan tetapi juga kehormatannya.

Lalu apa tindakan Banyu Perwita terhadap tuduhan itu? Ia mengakui kesalahanya melakukan tidak plagiarisme, dan bersedia menerima sanksi apapun yang dijatuhkan kepadanya. Namun sebelum putusan Unpar diambil ia mengajukan surat pengunduran diri, sebagai bentuk pertanggungjawabannya tidak saja kepada tempatnya bekerja, tapi juga [terutama] pada komunitas akademis. Sebuah tindakan yang terpuji.

Plagiarisme Dunia Musik

Lalu bagaimana plagiarisme dikalangan musisi?

Mungkin masih jelas dalam ingatan kita bagaimana ramainya berita tentang Coldplay yang dituduh menjiplak karya Joe Satriani yang berujung pada gugatan hukum.

Dalam gugatannya yang diajukan ke Pangadilan Los Angeles pada bulan Desember 2008, Satriani menuduh Coldplay telah menjipkak “If I Colud Fly” karya musiknya untuk digunakan pada lagu “Viva La Vida.” Pada pers Satriani mengatakan bahwa sejak pertama kali mendengar Viva La Vida ia sangat yakin Coldplay melakukan plagiarisme.

Walaupun pada awalnya pentolan Coldplay, Chris Martin membantah tudingan itu, pada akhirnya ia sepakat untuk memberi kompensasi sejumah uang pada Satriani. Kesepakatan damai -yang bisa diartikan Coldplay telah mengakui kesalahannya- terjadi di pengadilan pada 16 September 2009.

Plagiarisme dibidang musik telah lama terjadi tapi cuma sedikit yang berujung pada penyelesaian sengketa di pengadilan. Selama ini plagiarisme di bidang musik cuma berujung pada isu dan desas-desus. “Grup a menjiplak karya grup b; atau penyanyi x menggunakan riff karya penyanyi y,” cuma jadi pembicaraan yang bergema di ruang hampa.

Hal ini sungguh mengherankan mengingat sikap musisi yang sangat keras menentang pembajakan. Ada dualisme sikap disini, disatu sisi mereka getol menentang pembajakan [lepas dari hasilnya yang nol besar], di sisi lain mereka dan masyarakat selaku stake holder bersifat sangat permisif terhadap tidakan penjiplakan.

Atau.. ini bisa dibaca begini, karya musik –khususnya di Indonesia- kurang dihargai pertama-tama dan terutama oleh musisi sendiri sebagaimana dunia intelektual menghargai karya tulis. Jika asumsi ini benar keadaan ini sungguh sangat memprihatinkan.

Logikanya, jika sebuah karya musik dianggap sebagai karya intelektual yang tinggi nilainya, setiap upaya penjiplakan sudah selayaknya diganjar dengan “hukuman.” Orang tidak bisa seenaknya menggunakan seluruh atau sepotong lagu karya orang lain untuk lagu ciptaannya sendiri, dan mengklaim lagu itu sebagai karyanya.

Hati Nurani

Aturan tentang “penjiplakan lagu,” sebut saja begitu, memang belum jelas benar. Ada klausul yang menyebutkan kalau batasan menjiplak itu 8 bar. Tapi apa benar jika kita cuma menggunakan 6 bar, atau mengubah sedikit melodi lebih dari 8 bar berarti tidak menjiplak?

Sebagai pegangan, peraturan/undang-undang/konvensi ini sangat lemah dan mudah disiasaiti oleh orang yang memang berniat curang.

Yang lebih diperlukan -meminjam istilah Mudji Sutrisno- adalah membangkitkan kesadaran bersama. Kesadaran bahwa sebuah karya musik itu bernilai tinggi, dan menjipak karya orang lain, sebagian apalagi seluruhnya, adalah tindakan tercela.

Jika ingin musik dihargai seperti karya ilmiah, kesadaran bersama ini mesti dibangun. Dan itu harus dimulai dari para musisi sendiri. Dengan demikian orang akan malu jika mejiplak karya orang lain. Mungkin tidak ada tuntutan ganti rugi atau gugatan pengadilan yang diajukan, tetapi secara moral, penjiplak akan merasa terhina jika perbuatanya ketahuan.

Budaya malu [menjiplak] inilah yang sangat kurang di bidang musik. Mereka yang diindikasikan menjiplak dengan entenag mengatakan bahwa lagu ciptaanya itu cuma terinspirasi bukan mencontek. Di Malaysia kalangan intelektual kampus telah menggunakan software yang bisa mendetekasi sebuah karya ilmiah itu orisinil atau jiplakan. Perangkat yang sama mestinya juga bisa diciptakan untuk komposisi musik.

Tapi lepas dari itu, hukuman moral ini –dalam kasus ini- rasanya akan jauh lebih efektif ketimbang pasal-pasal pidana.

Sebagai ilustrasi, Thomas dalam proses pembuatan album self title Gigi merasa bahwa salah satu lagu di album tersebut interlude nya mirip dengan lagu PAS band. Ia lalu mengajak Armand, Budjana, Hendy, dan manajemen membahas masalah ini. Ada yang sependapat dengan Thomas, ada juga tidak. Yang terkahir ini menganggap kedua lagu itu nggak mirip.

Tapi akhirnya kami sepakat mengganti bagian tersebut, padahal sudah di mixing. Bagi kami, Gigi dan manajemen, menghargai karya orang lain itu penting, sepenting kami ingin orang lain menghargai karya kami. (son/POSe)

Tidak ada komentar: